Lazis Yashiruna Peduli

Blog Details

Image
Image

Sekelompok warga bergerak dengan inisiatif mereka sendiri untuk menolong korban bencana banjir dan longsor yang menghantam Sumatra Utara, Aceh, dan Sumatra Barat.

Gerakan ini, salah satunya, dipicu oleh kekecewaan terhadap pemerintah yang mereka sebut lamban menolong para korban.

Berbagai kelompok relawan berupaya membantu para korban dengan macam-macam cara, dari menghubungkan antarkeluarga yang kehilangan kabar, berbagi beras, mengevakuasi korban, hingga mengumpulkan donasi dan menyalurkannya ke lokasi terdampak.

Dua pekan telah berlalu sejak bencana banjir dan longsor menghantam Sumatra Utara, Aceh, dan Sumatra Barat akhir November lalu. Namun banyak wilayah masih minim mendapatkan bantuan.

Desakan untuk menetapkan bencana nasional juga tak kunjung dikabulkan. Sebaliknya, pemerintah mengklaim penanganan yang dilakukan sudah bertaraf nasional.

Data BNPB, pada Jumat malam (05/12), menunjukkan 867 orang meninggal, 521 jiwa hilang, dan korban luka mencapai 4.200 jiwa.

Di tengah kondisi itu, BBC News Indonesia merangkum beberapa upaya warga menolong warga lain yang menjadi korban.

Charity and Donation is a categorys that involves giving financial category that involves giving financial or material support various causes organizations.

Aceh Tengah: ‘Menghubungkan keluarga yang terpisah’

Tiga komunitas di Aceh, yaitu Titik Tengah, Kelas Campuran dan Festival Panen Kopi bergabung menjadi relawan dan membuka posko kemanusian untuk korban bencana di Aceh Tengah.

Salah satu relawan adalah Romex Sibroo. Dia bilang lebih dari 10 hari pascabencana, hampir semua akses jalan darat menuju ibu kota Aceh Tengah, Takengon, masih terputus.

Hanya satu yang baru dibuka yaitu dari Pidie Jaya ke Aceh Tengah, dan juga lewat jalur udara. Sedangkan, kata Romex, dari Takengon ke desa-desa kecil sekitarnya hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki.

Hal ini, katanya, menyebabkan saluran bantuan sangat terbatas. “Saya dengar, warga di desa-desa pelosok minum air dari sawah, genangan air. Seperti itu saat ini kondisinya di sini,” katanya.

Merujuk data BNPB, 5 Desember lalu, jumlah korban tewas di Aceh Tengah berjumlah 22 orang, 23 jiwa hilang, dan 37 orang terluka.

Pemerintah dilaporkan telah mengirim empat gelombang bantuan ke Aceh Tengah, melalui Bandara Rembele yang berlokasi di kabupaten tetangga, Bener Meriah. Salah satunya berupa 13 ton beras, 1 Desember lalu.

Satu hari setelahnya, BNPB juga dilaporkan mengirimkan bantuan via heliopter ke Kecamatan Bintang, Aceh Tengah, sebanyak 150 kilogram beras dan 30 dus makanan siap saji.

Namun, jumlah bantuan yang diberikan pemerintah masih sangat terbatas, kata Romex.

“Saya juga enggak mengerti harapannya ke pemerintah, karena pemerintah ini tidak mengerti juga pergerakan mereka. Kayaknya duduk-duduk saja di situ,” keluhnya.
Di tengah keterbatasan itu, Romex bersama relawan lain bergerak memberikan bantuan ke masyarakat. Salah satunya adalah dengan menghubungkan keluarga yang kehilangan kabar lewat sosial medianya, bernama titiktengahtxe.

“Banyak kawan-kawan di luar mencari kerabat mereka yang hilang, yang tidak bisa dihubungi di Takengon, karena sampai saat ini, di hari ke-10 itu listrik, BBM putus, tidak ada sama sekali,” katanya.

Timnya, ujar Romex, mendatangi beberapa lokasi dengan sepeda dan berjalan kaki, mencari keluarga yang kehilangan kabar itu.

“Saat ini kami bantu hanya masih seputaran kota [Takengon] dan luar kota sedikit, jaraknya sampai 10-15 kilometer yang bisa kami datangi. Dan kami bergerak memang dari warga untuk warga, warga tolong warga, manusia untuk manusia,” ujarnya sambil menangis.

Hasilnya, kata Romex, ada beberapa keluarga yang kini terhubung. Warga di luar kota dapat mengetahui kabar kerabatnya di Takengon dan sekitarnya.

Selain itu, relawan ini juga membuka donasi dan berupaya mengirimkan bantuan logistik ke Takengon. Namun, akses jalannya masih jadi hambatan terbesar.

Sebelumnya, Bupati Aceh Tengah Haili Yoga mengeluarkan surat tentang ketidakmampuannya mengatasi darurat bencana di wilayahnya. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian berdalih, kondisi itu terjadi karena akses jalan yang tertutup.

“Contohnya di Takengon, itu yang Aceh Tengah menyampaikan bahwa dia tidak mampu melayani, ya memang enggak akan mampu. Enggak akan mungkin. Karena apa? Karena dia sendiri tertutup (akses tertutup),” ujar Tito.

Leave A Comment